Salam Antusias teman-teman semua…
Bagi saya salah satu pembelajaran terbaik adalah diri kita sendiri, dan inspirasi terhebat yang pernah kita miliki adalah pengalaman masa lalu yang sudah kita dapatkan, entah berhasil atau kurang berhasil. Betul atau betul?
Dan masa pembelajaran saya pun tidak pernah berhenti sampai akhir hayat, sampai nafas saya berhenti dan tidak beroperasi lagi. Saya harap teman-teman juga seperti itu. Karena sejatinya kita hidup di dunia ini, saling memberikan pelajaran dan saling memberikan inspirasi. Sepakat? Kalau sepakat kita lanjutkan…Oke, lets do it!
Saya ingin menceritakan kisah hidup saya, yang mungkin ada sebagian skenario menarik untuk teman-teman petik. Jangan berprasangka dulu dan belajarlah menerima apapun kondisinya, itu salah dua prinsip saya yang saya pegang, dan saya harap pun teman-teman memegang prinsip itu juga, minimal untuk membaca kisah hidup saya.
Kalaupun ada kesamaan kejadian dan hikmah, silahkan di syukuri serta di ambil makna sebesar-besarnya untuk semangat melakukan perubahan, yang harapannya mungkin bisa lebih baik dan sukses dari saya. Amin…
Perkenalkan Nama saya Muvtizar Solichin atau biasa di panggil dengan Kang Muvti. Sebenarnya panggilan Kang, bukan berasal dari asal muasal saya. Karena Ayah saya dari Palembang-Lampung dan ibu saya asli Semarang. Saya lahir di ibukota Jakarta, dan sudah 7 tahun lebih menuntut ilmu di salah satu kampus negeri di Sumedang serta menjemput rizki di tanah Sunda. Serta menikah dengan orang Yogyakarta, yang sudah lama di Rancaekek, Bandung. Mungkin dari situlah, saya nyaman dipanggil dengan sebutan kang. Hehehe…
Masa pendidikan saya di SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas), merupakan masa-masa saya dimana saya memegang prinsip menjadi ORANG BIASA, orang standar dan menjadi orang-orang rata-rata. Dari segi akademis pada saat saya di SD Ar-Rahman, Setiabudi termasuk prestasi yang biasa. Tidak pernah masuk rangking 10 besar, dan memiliki NEM yang juga rata-rata. Bahkan teringat ketika teman-teman saya masuk dapur rekaman sebagai penyanyi anak-anak dengan konsep religi, saya cuma sebagai penonton yang mengagumi suara-suara merdu mereka. Malahan juga ketika ada pemilihan untuk masuk ke stasiun televisi TVRI kalau tidak salah, dengan mengusung seni kabaret dan drama, saya pun masuk sebagai pemeran super pembantu atau kalau dalam dunia sepakbola, sebagai cadangannya cadangan. Ironis, tapi itulah pilihan hidup yang saya pilih.
Begitu juga masa pembelajaran saya di Sekolah Menengah Pertama (SMP 1, Cikini Jakarta). Tiga tahun lamanya, tidak ada prestasi yang memukau saya cetak. Kembali, saya memilih menjadi orang biasa dan menjadi orang rata-rata. Kegiatan saya pun standar, setelah sekolah langsung pulang dan tidak pernah mengikuti kegiatan luar sekolah. Untungnya ada tiga sahabat saya yang sudah terbina dari SD dan mewarnai kisah perjalanan saya selama tiga tahun tersebut. Dan diantara ketiga teman saya itu, saya lah orang yang paling tidak beruntung dari segi kepintaran (karena mereka bertiga mempunyai prestasinya masing-masing) dan tentunya finansial keluarga. Akan tetapi, mental bersyukur saya masih terdepan. Dengan berbagai kondisi saya masih tetap bertahan dengan gaya hidup saya. Waktu di zaman ini, saya teringat lagi merajalela lah sebuah konsol permainan yang dinamakan Playstation. Karena keluarga saya pada waktu itu tidak sanggup membeli konsol tersebut, saya pun terpaksa untuk bermain di rumah ketiga teman saya itu. Alhamdulillah saya mempunyai tiga teman yang sangat baik.
Pada masa saat SMA, sejujurnya saya mempunyai niat untuk berubah. Untuk menjadi orang di atas rata-rata. Minimal, menjadi orang populer di SMA 3 Jakarta. Maklum SMA saya ini adalah salah satu SMA favorit dan SMA paling gaul se-Jakarta (asumsi saya pada saat itu). Tapi harapan saya pupus. Bahkan kelas satu saya pernah hampir tidak naik kelas. Alhamdulillah wali kelas saya, menyelamatkan saya hingga saya bisa naik ke kelas dua. Mungkin perubahan yang saya bisa capai pada masa saat SMA adalah prestasi akademis saya satu tahun berikutnya. Karena hampir tidak naik kelas di kelas satu, saya pun balas dendam, saya tidak mau orang tua saya sedih. Dengan semangat belajar yang berbeda, ikut bimbingan belajar dan privat, Alhamdulillah saya bisa masuk rangking 2, sebuah prestasi pertama saya yang saya banggakan, walaupun saya tahu di kelas ini adalah salah satu kelas terbawah di bandingkan kelas-kelas lain.
Dengan bekal rangking di kelas 2, saya pun masuk ke kelas unggulan, kelas 3 IPA. Ada sesuatu yang mengalir dalam hati saya, IPA? Benarkah saya suka dengan kelas ini? Benarkah saya bisa bersaing dengan teman-teman kelas saya yang luar biasa? Tapi self-talk ini saya tepis, karena orang tua sangat senang saya memilih jurusan science. Entah mengapa di kelas tiga ini, kembali saya menjadi orang biasa. Bahkan saya sering tidak percaya diri di sini. Menjadi siswa yang standar pun akhirnya saya pilih, dan di kelas tiga ini, saya tidak pernah rangking 10 besar.
Saya merasakan dengan penuh kesadaran ketika saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah. “Selama saya hidup saya belum pernah mencetak prestasi apapun, lalu apa gunanya saya hidup? Bukankah hidup satu kali ini harusnya dihiasi banyak prestasi? Saya harus berubah!”
Di tahun kesempatan pertama untuk mengikuti UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) sebuah gerbang bagi siapapun yang ingin menikmati aroma kuliah di universitas Negeri dengan biaya yang lebih terjangkau pada saat itu. Saya pun bertarung. Akan tetapi, saya bertarung dengan setengah hati, padahal saya sudah berjanji. Bukannya saya belajar yang serius untuk menghadapi ujian, selama satu bulan penuh aktivitas saya hanya main-main dan hobi ikut pensi (Pentas Seni). Pantas lah Allah tidak memberikan kesempatan saya untuk berpartisipasi menjadi mahasiswa di universitas Negeri. Kalau lah saya diberikan kesempatan, pasti saya menjadi orang yang sombong. Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk hambanya.
Saya ingat sekali, orang tua saya sangat sedih. “Sebenarnya ini anak mau kuliah ngga sih?” mungkin itulah yang terpikir dari benak orang tua saya, karena memang karakter orang tua saya selalu menyimpan kekecewaan di hatinya. Tapi, namanya ibu dan anak ada ikatan batin, saya merasakan bagaimana kekecewaan mereka. “Ya Allah, ampunilah hamba, kok bisa-bisanya saya tidak memanfaatkan kesempatan ini”. Tapi selalu saja, yang namanya menyesal terucapnya belakangan.
Setelah saya dipastikan tidak lulus UMPTN (dalam bahasa lain gagal), keputusan pertama sepanjang sejarah saya adalah, saya tidak mau kuliah atau kerja dimanapun dulu. Saya mau bertarung kembali untuk kesempatan kedua. Huff… keputusan yang mengantarkan saya mengenal jati diri dan siapa Muvti sebenarnya. Alhamdulillah orang tua saya mendukung, akan tetapi anggapan teman-teman saya yang mungkin sedikit berbeda yang ternyata juga mereka sudah memilih untuk kuliah. Ada yang di Akutansi Binus, Fakultas Kedokteran UI, dan Tehnik Sipil ITB, dan lain-lain.
Ada sebuah program satu tahun untuk belajar UMPTN kembali di sebuah bimbingan belajar bernama Nurul Fikri, dengan salah satu program terbaiknya RONIN. Saya pun daftar dengan menyicil, berharap saya masuk menjadi mahasiswa di Universitas Negeri.
Disinilah babak kehidupan baru saya dirintis. Dengan semangat baja dan komitmen sekencang kereta api tercepat, saya siap menjadi Muvti yang baru, seorang yang hidup diatas rata-rata. Target prestasi terbesar yang saya cetak saat itu adalah, masuk di perguruan tinggi negeri.
Satu tahun penuh saya berkutat di pelajaran-pelajaran SMA, mengulang kembali semua materi yang diberikan dan berlatih untuk menjawab soal-soal yang nanti diprediksi akan keluar di SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Selain itu, ibadah juga saya perkuat. Dhuha dan tahajjud menjadi sebuah kebiasaan yang dibiasakan. Dan selain belajar, saya pun membentuk komunitas belajar di bimbingan belajar tersebut, bernama MABIT dengan rekan seperjuangan dan teman main saya. Setiap malam minggu, yang biasanya anak-anak muda kelayapan atau ngapelin kekasihnya, saya melakukan hal yang berbeda. Saya menginap bersama teman-teman yang saya ajak juga di Mampang, markas yang ditunjuk untuk program Mabit, yang juga kantor dari Nurul Fikri. Ngapain kami di malam yang sakral itu bagi sebagian anak muda? Yah kami belajar, berlatih dan berdoa. Subhanallah…
Singkat cerita, dengan menggabungkan ikhtiar langit dan bumi. Allah mengabulkan doa saya di waktu yang tepat. Saya masuk ke Perguruan Tinggi Negeri di Universitas Padjadjaran, Jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan, Fakultas Komunikasi.
Nah disinilah prestasi-prestasi saya torehkan. Banyak sekali keajaiban yang saya dapatkan, dan berbagai pengalaman saya nikmati. Hasilnya sungguh di luar dugaan… mungkin Perjalanan Muvti bagian 2 akan berlanjut. Tunggu saja artikel selanjutnya…
Sukses, semangat dan salam antusias…